Tentang "Takdir": Mengapa Allah Mengijinkan Kita Menderita?

(Untuk teman-teman yang bingung terhadap penderitaan-penderitaan dan -- yang tampaknya seperti -- ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan ini, sehingga meragukan kebijaksanaan Tuhan)

Baik. Tulisan ini bermula dari inspirasi yang ku dapat dari berbagai kejadian akhir-akhir ini. Entah mengapa Tuhan mengarahkanku untuk menulis artikel ini, melalui semua pengalaman-pengalamanku tersebut: diskusi tentang topik "takdir" pada suatu komunitas doa yang ku ikuti, pertanyaan dari seorang teman baik tentang "apa itu takdir", pikiran-pikiran dan ayat-ayat Alkitab yang mencoba menjelaskan kepadaku apa maksud dari semua ketidakadilan yang terjadi dalam dunia ini; semua seakan membawaku untuk merenungkannya, dan menuliskannya dalam tulisanku ini.

Pertanyaan yang ingin ku jawab adalah, seperti judul artikel ini persis. Mengapa Allah mengijinkan sebagian orang menderita? Mengapa ada yang kaya dan miskin? Sehat dan cacat? Makmur dan merana? Terkenal dan dikucilkan? Apa maksud dari semua ini? Apakah Tuhan memihak kepada sebagian orang dan meninggalkan yang lainnya? Apakah orang-orang yang menderita itu dihukum karena kesalahan mereka? Apakah orang yang kaya raya itu hidup suci dan benar, sehingga dikaruniai segala kelimpahan di dunia ini? Apakah dengan melakukan semua ini, Tuhan itu adil? Bukankah seharusnya semua orang mendapatkan bagian yang sama, sehingga dengan itu semua bisa memperoleh dan merasakan keadilan?

Seperti kamu, aku juga menanyakan hal ini dari sejak dahulu kala. Aku sangat bersyukur bahwa seiring berjalannya waktu, bertambahnya usia, dan dengan segala niat dan usaha untuk mengenal-Nya, aku boleh diberi sedikit pengertian dari pemahaman yang sangat kompleks tentang persoalan "takdir" ini -- semua berkat rahmat dari Tuhan, dan Firman-Nya yang hidup, yang dapat kita akses saat ini melalui Alkitab dan dengan berdoa. Dan berkat pertolongan Tuhan yang memampukanku untuk berdoa dan merenungkan Firman-Nya setiap hari, aku boleh semakin mengerti bahwa segala yang Ia lakukan adalah untuk kebaikan kita, yakni untuk keselamatan jiwa kita, serta untuk melakukan hal yang merupakan tujuan kita diciptakan, yakni untuk melayani-Nya dan memuliakan nama-Nya. Hanya dengan itu kita boleh memperoleh kedamaian dan kebahagiaan sejati.

Segala penderitaan yang terjadi di dunia ini, memang tidak dapat sepenuhnya kita mengerti alasannya. Namun, terdapat beberapa petunjuk yang ditinggalkan oleh para pendahulu kita, yakni para orang-orang beriman, yang menuangkannya dalam Alkitab dan tulisan-tulisan.

Pertama, Tuhan bisa saja mengijinkan segala penderitaan untuk menghukum orang-orang berdosa, yang telah mengkhianati-Nya, atau berpaling dari-Nya. Ingatkah kamu bahwa Tuhan sangat mengasihi umat-Nya bangsa Israel, hingga membebaskan mereka dari perbudakan Mesir dengan mukjizat-mukjizat yang ajaib? (buka Keluaran 1:1 s.d. 15:22). Namun, kita memang manusia yang sangat mudah lupa akan kebaikan Allah, sehingga Allah pun tidak akan segan-segan menghukum kita layaknya orang tua yang mengasihi anaknya dan selalu mengharapkan yang terbaik bagi anaknya, agar mereka bertobat dari kesalahannya. Kita diciptakan hanya untuk Allah, dan begitu juga bagaimana bangsa Israel mempercayainya. Tiada Allah lain yang layak disembah selain Tuhan Allah kita, yang sekarang kita kenali nama-Nya, yaitu Yesus Kristus. Tetapi, dahulu bangsa Israel berkali-kali memberontak dan menyembah allah lain (misalnya pada Keluaran 32:1-35, dimana bangsa Israel membuat allah sendiri dalam rupa lembu emas; atau di Kitab Hakim-Hakim [2:11; 3:7,12; 4:1; 6:1; 10:6; 13:1] dimana berulang kali bangsa Israel menyembah berhala dan melupakan kebaikan Allah mereka yang sebenarnya; dan masih banyak kejadian lainnya di sepanjang Alkitab). Atas kedurhakaan bangsa Israel, Allah tidak segan "menghukum" mereka dengan membiarkan musuh-musuh mereka mengalahkan mereka dan mengijinkan mereka ditimpa dengan penderitaan (misalnya pada Kitab 1 Raja-Raja 16:21-34 & 22:13-40, dimana raja Ahab yang jahat dan merupakan penyembah berhala Baal diijinkan Allah untuk dikalahkan dan dibunuh oleh musuhnya bangsa Aram). Namun, semua terjadi untuk kebaikan mereka, agar bangsa Israel kembali menyembah Allah yang benar, dan boleh memperoleh kedamaian sejati.

Contoh lain adalah ketika Daud, hamba Allah yang setia, melakukan dosa perzinahan dengan Batsyeba, istri Uria (buka 2 Samuel 11:1 s.d. 12:29). Daud yang saat itu merupakan raja bangsa Israel, sengaja menempatkan Uria di barisan terdepan di medan perang, sehingga Uria meninggal, dan Batsyeba dapat menjadi istrinya. Namun hal ini adalah kekejian di mata Tuhan, sehingga Tuhan mengijinkan penderitaan terjadi pada Daud dan Batsyeba, yakni dengan membiarkan anak pertama mereka menderita sakit dan meninggal dalam waktu beberapa hari setelah dilahirkan. Ini adalah contoh lain bagaimana Tuhan mengijinkan penderitaan terjadi pada kita untuk mengingatkan kita bahwa ujung dari dosa adalah maut. Segala yang bertentangan dengan kehendak dan perintah Tuhan adalah dosa, dan berujung pada penderitaan dan kematian, baik fisik maupun jiwa.

Alasan yang pertama (terkait mengapa Allah mengijinkan kita menderita) ini sangat jelas juga diungkapkan berkali-kali dalam Firman Allah, perintah-perintah Allah, dan nubuat-nubuat para nabi dan rasul, seperti misalnya pada ayat-ayat sebagai berikut:

Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri. Karena sedikit waktu lagi, maka lenyaplah orang fasik; jika engkau memperhatikan tempatnya, maka ia sudah tidak ada lagi. Tetapi orang-orang yang rendah hati akan mewarisi negeri dan bergembira karena kesejahteraan yang berlimpah-limpah. Orang fasik merencanakan kejahatan terhadap orang benar dan menggertakkan giginya terhadap dia; Tuhan menertawakan orang fasik itu, sebab Ia melihat bahwa harinya sudah dekat. (Mazmur 37:9-13)

Juga tentang mereka Henokh, keturunan ketujuh dari Adam, telah bernubuat, katanya: "Sesungguhnya Tuhan datang dengan beribu-ribu orang kudus-Nya, hendak menghakimi semua orang dan menjatuhkan hukuman atas orang-orang fasik karena semua perbuatan fasik, yang mereka lakukan dan karena semua kata-kata nista, yang diucapkan orang-orang berdosa yang fasik itu terhadap Tuhan." (Yudas 14:14-15)

Namun ingatlah bahwa semua ini adalah untuk kebaikan dan keselamatan kita sendiri, agar kita tahu bahwa Allah-lah sumber kehidupan sejati. Dengan kata lain, Tuhan tidak menghendaki penderitaan terjadi pada kita semua, namun mengijinkannya agar kita bertobat:

Katakanlah kepada mereka: Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu! Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel? (Yehezkiel 33:11)

Kenyataannya tidak sesederhana itu. Ada juga orang yang hidup suci dan baik hati yang mengalami penderitaan. Pertanyaannya, mengapa? Orang yang baik sudah sepantasnya dibalas dengan kebaikan dan kemakmuran. Jawabannya adalah agar Allah dapat menunjukkan kemuliaan-Nya pada kita (melalui mukjizat dan kebaikan-Nya), agar kita percaya pada-Nya.

Yesus menunjukkannya (dan sekaligus mengajarkan pada kita tentang kebijaksanaan ini) pada saat ia menyembuhkan orang yang buta sejak lahir. Ketika itu, murid-murid-Nya bertanya pada-Nya tentang apakah orang buta tersebut dilahirkan demikian karena takdir, atau karena akibat hukum tabur tuai. Pada zaman itu, memang murid-murid Yesus mengerti bahwa orang-orang berdosa itu sudah sepantasnya dihukum Allah. Namun Yesus menjawab bahwa terkait kasus ini, ia dilahirkan buta bukan karena kesalahannya sendiri, melainkan agar Yesus boleh melakukan mukjizat padanya, dan melalui peristiwa tersebut orang-orang boleh menjadi saksi atas kebaikan dan kuasa Allah, dan nama Allah boleh dimuliakan:

Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?" Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia." (Yohanes 9:1-3)

Singkat cerita, Yesus kemudian menyembuhkan orang buta tersebut. Banyak orang melihat kejadian itu dan percaya pada Yesus.

Merenungkan hal ini, sebenarnya kita patut bersyukur. Karena justru dalam kelemahan-kelemahan kita, dalam penderitaan kita, justru Allah boleh bekerja dengan luar biasa. Sebaliknya, kalau kita terlalu nyaman dengan harta dan kenyamanan dunia ini, dan kita hidup baik-baik saja, kita cenderung merasa tidak membutuhkan Allah, mudah lupa akan Allah, dan dengan sangat mudah akan jatuh dalam dosa, yang berujung pada kematian jiwa kita. Surat Rasul Paulus pada jemaat di Korintus mengungkapkannya dengan sangat baik:

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah [kelemahan-kelemahan kita sebagai manusia] kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat. (2 Korintus 12:9-10; penekanan ditambahkan)

Baik. Jadi alasannya bisa karena dosa-dosa kita sendiri, atau karena Allah ingin menunjukkan kemuliaan-Nya melalui kelemahan kita. Namun kenyataannya, banyak hal yang Allah lakukan itu tidak ada penjelasan logisnya (dalam konteks pikiran manusia; dimana seringkali pikiran kita sebagai manusia tidak sanggup memahami kebijaksanaan Allah)! Ini dicontohkan dengan baik pada kisah Ayub (buka Kitab Ayub). Ayub merupakan hamba Tuhan yang setia, dan Tuhan telah memberinya kelimpahan. Namun, untuk membuktikan kesetiaan Ayub, Allah menghendaki agar seluruh kekayaan dan kebahagiaan Ayub: ternak, pembantunya, hingga anak-anaknya, diambil daripadanya, dan mengijinkan ia mengalami penyakit bisul dan borok. Namun, Ayub tetap setia pada Tuhan dan menolak untuk menghujat-Nya (buka Ayub 1:13 s.d. 2:10).

Jika kita melihat kisah Ayub, kita akan sangat terheran. Mengapa Tuhan dengan tega membiarkan orang yang setia pada-Nya mengalami semua ini? Tuhan mengijinkan kita untuk sedikit mengerti kebijaksanaannya (hanya sedikit) dengan menjawab pertanyaan ini pada bagian akhir Kitab Ayub. Allah mengingatkan Ayub bahwa Ia adalah Allah yang berdaulat, sangat berkuasa, merupakan Pencipta jagad raya yang Mahakuasa, yang jalan-jalan-Nya di luar pengertian manusia (buka Ayub 38:1 s.d. 41:34). Sehingga, kita tidak akan sepenuhnya mengerti kehendak-Nya (setidaknya saat ini), hingga pada waktunya nanti, saat kita kembali dalam kediaman Allah, yakni rumah kita yang sesungguhnya. Namun untuk saat ini, Allah tidak harus membenarkan dan membela -- memberikan penjelasan logis atas -- tindakan-Nya demi keingintahuan manusia.

"Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku", demikianlah firman TUHAN. (Yesaya 55:8)

Pada akhirnya, pada kisah Ayub, Allah kembali memulihkan kekayaan Ayub, bahkan memberikannya dua kali lipat lebih banyak (buka Ayub 42:10-17). Namun satu hal yang penting untuk diingat adalah semua agar kita diselamatkan dari dosa. Allah mengijinkan seluruh penderitaan agar semua manusia (baik kita sendiri maupun orang-orang disekitar kita) boleh bertobat dari segala dosa dan berbalik pada Allah (buka Ayub 36:1-33).

Dibalik kesetiaan Ayub kepada Allah, sebenarnya Ayub juga telah bersalah karena menganggap dirinya manusia yang suci dan benar dihadapan Allah (diungkapkan di sepanjang Kitab Ayub), dan mengatakan bahwa ia tidak seharusnya mengalami seluruh penderitaan yang ia alami. Sehingga, Ayub sebenarnya tidak sepenuhnya benar, layaknya kita yang mengeluh pada Allah apabila mengalami penderitaan dalam hidup ini. Namun, pada akhirnya, melalui penderitaan ini pula, Allah mengijinkan Ayub untuk percaya dan berserah pada kebijaksanaan Allah, suatu pelajaran yang sangat bermakna dan sangat kita butuhkan.

Layaknya orang tua yang mengasihi anaknya, Allah juga mengasihi kita dan ingin kita kembali pada-Nya, sehingga segala hal dapat Ia lakukan untuk membuat kita jatuh cinta kembali pada Allah. Itulah satu-satunya tujuan mengapa Tuhan Yesus rela menjadi manusia dan wafat di kayu salib:

"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini [akan kita umat manusia], sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yohanes 3:16; penekanan ditambahkan)

Terlebih, aku juga percaya bahwa Allah mengijinkan penderitaan pada Ayub juga karena ingin menguji kesetiaan Ayub pada Allah, melatih kesetiaan dan imannya pada Allah, dan agar dapat menjadi teladan bagi orang-orang beriman lainnya. Terlepas dari segala penderitaan kita, kita sudah sepatutnya tetap bersyukur pada Allah. Sebab, semua yang kita miliki adalah milik Allah, pemberian dari Allah. Maka apabila segalanya itu diambil dari kitapun, sudah sepatutnya kita tetap bersyukur pada Allah dalam situasi apapun.

Sebab siapakah aku ini dan siapakah bangsaku, sehingga kami mampu memberikan persembahan sukarela seperti ini? Sebab dari pada-Mulah segala-galanya [segala sesuatu yang kita miliki adalah dari Allah] dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu [kita hanya memberikan/mempersembahkan kepada Allah apa yang Allah sebelumnya telah berikan pada kita; sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk bermegah atas segala karya kita, kecuali untuk memegahkan Allah]. (1 Tawarikh 29:14)

Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu -- yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api -- sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. (1 Petrus 1:7)
Kita sudah membahasnya dengan sangat panjang, dan saatnya menyimpulkan. Pertama, Allah dapat mengijinkan penderitaan pada kita karena dosa-dosa kita, agar kita boleh mengetahui bahwa akibat dari dosa adalah penderitaan dan maut. Sehingga, kita boleh kembali kepada Allah yang benar. Kedua, Allah dapat mengijinkan penderitaan agar Ia dapat menunjukkan kemuliaan-Nya pada kita, supaya semakin banyak orang yang melihat dan percaya akan kasih, kebaikan, dan kuasa Allah yang benar. Ketiga, Allah ingin menguji kesetiaan kita pada-Nya, melatih iman kita, dan menjadikan kita teladan bagi orang-orang percaya lainnya. Terakhir, terkadang memang tidak ada alasannya! Itulah yang kita dapat simpulkan sebagai manusia yang lemah dihadapan Allah. Karena kita tidak dapat sepenuhnya mengerti alasan Allah saat ini. Pikiran Allah jauh melebihi pikiran manusia. Yang kita tahu pasti adalah bahwa tujuan sengsara ialah pertobatan. Semua Tuhan lakukan agar kita diselamatkan dari dosa, dan kembali kepada Allah sumber kasih dan kebahagiaan sejati -- semua yang kita ingini hanya ditemukan di dalam Yesus Kristus, Tuhan kita.

Jikalau mereka [kita sebagai orang-orang berdosa] dibelenggu dengan rantai, tertangkap dalam tali kesengsaraan, maka Ia [Tuhan] memperingatkan mereka kepada perbuatan mereka, dan kepada pelanggaran mereka, karena mereka berlaku congkak, dan Ia membukakan telinga mereka bagi ajaran, dan menyuruh mereka berbalik dari kejahatan. Jikalau mereka mendengar dan takluk, maka mereka hidup mujur sampai akhir hari-hari mereka dan senang sampai akhir tahun-tahun mereka. (Ayub 36:8-11; penekanan ditambahkan)

Maka sekarang, jika kamu mengalami penderitaan, atau melihat orang-orang di sekitar kamu menderita, berbahagialah! (bukan berbahagia karena menyaksikan penderitaan orang tersebut, melainkan karena memahami bahwa melaluinya Allah dapat bekerja!) Ketahuilah bahwa itu adalah suatu rahmat dari Allah. Yakni, agar kita semakin percaya pada-Nya. Agar kita semakin berserah dan mengandalkan-Nya. Agar kita berpaling dari dosa dan bertobat. Agar kita menjadi teladan bagi sesama kita orang beriman. Agar Tuhan boleh bekerja melalui kelemahan kita. Agar kita selalu ingat akan kasih dan kuasa Allah. Agar kita boleh menolong satu sama lain yang sedang menderita. Dan segala alasan indah lainnya yang dapat kita pikirkan maupun yang tidak. Semua agar jiwa kita diselamatkan, dan kita boleh kembali mencintai Allah, sumber kasih sejati!

Tuhan mengasihimu, selalu!

Segala Sesuatu Tiada Artinya Bila Tidak Memperoleh Kerajaan Allah (Matius 13:44-46)

(Terinspirasi oleh Homili Uskup Agustinus Agus; Pontianak, 26 Juli 2020)

Hari ini hari yang istimewa. Aku mendapat kesempatan untuk mendengar suatu khotbah yang sangat menginspirasi dari Uskup Agung Pontianak, Mgr Agustinus Agus. Dan di sini aku ingin membagikan sedikit dari apa yang aku peroleh.

Tema bacaan Gereja Katolik hari ini berbicara tentang Kerajaan Allah, dimana Yesus mengatakan Kerjaan Allah itu seperti harta terpendam yang ditemukan seseorang di suatu lahan, kemudian orang itu menyembunyikannya kembali karena kegirangan, dan rela menjual segala harta benda miliknya untuk memperoleh lahan yang didalamnya terkandung harta tersebut (yang merupakan gambaran dari Kerajaan Surga):
"Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu." (Matius 13:44)
Juga, menguatkan perumpamaan ini, Yesus memberikan perumpamaan lain yang serupa, dengan mengumpamakan Kerajaan Allah sebagai mutiara yang sangat indah. Dan siapapun yang menemukannya akan langsung dengan rela menjual segala harta miliknya yang lain untuk dapat membelinya:
"Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, iapun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu." (Matius 13:45-46)
Membaca dua perumpamaan Yesus ini, kita seringkali berfikir secara duniawi bahwa ini sangatlah tidak masuk akal. Tidak mungkin kita menjual segala harta yang kita miliki di dunia ini untuk memperoleh sesuatu yang tidak bisa kita lihat dengan mata kita - atau bagi sebagian orang, sesuatu yang tidak pasti. Kita tidak mungkin bisa hidup, kita pasti butuh uang untuk membeli makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan hidup lainnya di dunia ini.

Namun Uskup Agustinus Agus menginterpretasikan dengan sangat baik, bahwa kita bukannya harus meremehkan kebutuhan hidup di dunia ini. Dunia ini memang memiliki peraturannya atau cara kerjanya sendiri yang membuat kita perlu makan, minum, dan memenuhi kebutuhan fisik lainnya agar dapat tetap hidup secara fisik. Namun segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada artinya bila kita tidak memperoleh Kerajaan Allah pada akhirnya. Karena segala sesuatu yang ada di dunia ini sifatnya hanya sementara, segala harta di dunia ini bersifat fana. Tidak ada yang kekal. Maka tidak ada gunanya bila memperoleh semua keindahan duniawi tersebut bila akhirnya semuanya binasa, seperti ditekankan oleh Yesus:
Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya. (Markus 8:36)
Pikirkan semua harta di dunia ini: kekayaan, uang, nama baik, istri yang cantik atau suami yang tampan, mobil yang mewah, terkenal, semua yang dapat dipikirkan. Semua akan hilang dan akan dilupakan. Maka dari itu tidak ada gunanya bila memperoleh semuanya itu namun pada akhirnya tidak ditujukan untuk kemuliaan Allah, untuk memperoleh Kerajaan Allah yang abadi.

Khususnya di masa yang sulit ini dengan adanya wabah COVID-19, kita tentunya mengusahakan segalanya untuk menjaga kesehatan kita. Bahkan ada yang sampai tidak berani keluar rumah sama sekali. Namun pada akhirnya kita harus tetap ingat bahwa kematian ada di tangan Tuhan. Semua orang akan mengalami kematian tanpa terkecuali, baik karena sakit jantung, darah tinggi, masa tua, maupun COVID-19. Dan sebaik apapun kita menjaga kesehatan kita, Tuhanlah yang menentukan kapan ia akan memanggil kita. Maka dari itu kita harus tetap mempercayakan seluruh hidup kita pada Tuhan, sambil melakukan bagian yang kita bisa, yakni dalam konteks ini untuk menjaga kesehatan dengan baik. Sekali lagi bukan untuk meremehkan kesehatan, tapi bila kita tidak mengandalkan Allah dan menjadikan Allah nomor satu dalam hidup kita, semua tidak ada gunanya dan suatu saat akan binasa.

Memang gagasan ini adalah hal yang sulit diterima bagi sebagian besar orang. "Ini tidak masuk akal". "Ini bukan cara dunia ini bekerja". "Semua itu hanya karangan dan cerita yang indah di buku cerita". "Dunia ini tidak semudah yang kamu bayangkan". Maka dari itu Yesus berkata bahwa kita harus percayakan hidup kita pada Allah seperti seorang anak kecil (yang taat pada orang tuanya tanpa banyak mempertanyakan keputusan orang tuanya; diumpamakan sebagai kita yang juga harus sepenuhnya percaya pada Allah dan kehendak-Nya) untuk dapat menerima ajaran ini:
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga." (Matius 18:3)
Untuk melaksanakan ini, memang banyak tantangan. Tantangan ini membuat hal memasuki Kerajaan Surga menjadi sulit (bila tanpa rahmat Tuhan sendiri), terutama bagi orang yang terlalu terikat pada kenikmatan duniawi (misalnya orang yang kaya raya), seperti yang ditekankan Yesus:
"Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah." (Matius 19:24)
Ini karena orang kaya (atau yang memiliki harta duniawi dalam bentuk apapun) akan sangat sulit dan enggan untuk melepaskan hartanya, karena sudah terlalu nyaman - bahkan untuk memperoleh sesuatu yang lebih mulia sekalipun. Uskup Agustinus Agus pun mengakui tantangan tersebut. Begitu juga yang dialami para imam yang melayani di Keuskupan Agung Pontianak, yang baru saja merayakan pemberkatan minyak suci dan pembaharuan janji imamat mereka pagi ini. Harta kekayaan, kehidupan berkeluarga, semua merupakan hal yang menggoda secara duniawi. Ini sebabnya terkadang ada imam yang setia, namun ada yang tidak tahan godaan pula, karena mereka pun manusia biasa yang lemah dan berdosa. Namun, terlepas dari kelemahan mereka, mereka rela meninggalkan segala miliknya, memikul salib mereka dan melayani untuk tujuan lain yang lebih besar, yakni untuk Kerajaan Allah dan keselamatan umat Allah. Mereka menjawab panggilan Yesus untuk melepaskan segala harta duniawi dan mengikuti-Nya:
"Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." (Matius 19:21)
Secara naluriah, ini tentu hal yang sangat sulit dan tidak masuk akal. Tapi bagi Tuhan, tiada yang mustahil. Karena Tuhan telah berjanji akan menyediakan segala yang kita butuhkan (untuk keselamatan kita; bukan semata-mata hanya yang kita inginkan untuk kenikmatan duniawi) apabila kita meletakkan Kerjaaan Allah sebagai tujuan utama hidup kita:
"Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." (Matius 6:33)
Tuhan Yesus pun mengalami tantangan dalam hidup-Nya di dunia ini. Menjelang hari penyalibannya, Ia pun mengeluh dan berharap agar Tuhan tidak menimpakan penderitaan itu pada-Nya. Namun Ia menambahkan, "Terjadilah menurut kehendak-Mu ya Bapa, bukan kehendak-Ku":
"Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." (Lukas 22:42)
Juga, pada saat tergantung di kayu salib, Yesus pun mengeluh mengapa Allah Bapa membiarkan semua itu terjadi pada-Nya:
Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Matius 27:46)
Tapi percayalah! Bagi Tuhan, tiada yang mustahil (buka Lukas 18:27; Yeremia 32:17).

Maka itu, aku berharap teman-teman terkasih dalam Kristus semakin memahami betapa berharganya Kerajaan Surga dibandingkan dengan seluruh kemegahan yang ditawarkan oleh dunia ini. Dan menyadari, bahwa tanpa Kerajaan Allah, semua menjadi sia-sia. Namun, apabila semua kita persembahkan untuk kemuliaan Tuhan dan kebaikan sesama (sekalipun secara duniawi kita tidak memiliki apa-apa), semua akan menjadi jauh lebih berarti. 
"Sebab, segala harta yang fana di dunia ini (yang terbaik sekalipun) tidak ada artinya bila kita tidak memperoleh Kerajaan Allah." (Mgr Agustinus Agus, 26 Juli 2020)
Semoga Tuhan memberkati kita semua selalu.

Maksud dari Segala Pencobaan yang Kita Alami: Kemurnian Iman Kita (1 Petrus 1:6-7)

Mungkin hati kita saat ini sedang merasa hampa, kering, dan sepi. Mungkin masalah-masalah kita menumpuk, kita jatuh berulang-ulang kali pada dosa, kita lelah, sedih, rasanya ingin terus menangis, dan kita bertanya, "Dimanakah Tuhan? Apakah Dia tidak ada? Atau Dia tidak mau mendengar doaku? Apakah maksud dari semua cobaan ini?"

Santo Petrus sebenarnya telah menjawab pertanyaan ini melalui sabda Tuhan dalam Alkitab. Satu Petrus bab satu ayat enam hingga tujuh mengatakan:

Berbahagialah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu - yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api - sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.  (1 Petrus 1:6-7)

Terima kasih Santo Petrus, berkat bimbingan Roh Kudus ia telah membantu kita menjawab pertanyaan yang akan terus kita tanyakan sepanjang hidup kita. Karena di dalam hidup ini masalah akan terus ada.

Saudara-saudari terkasih, segala pencobaan yang kita alami dalam hidup ini adalah untuk membuktikan seberapa setiakah kita kepada Allah, Tuhan kita. Dengan segala permasalahan, kesedihan, jatuh bangun, air mata yang menetes, dan segala rintangan yang dapat kita bayangkan maupun tidak, apakah kita tetap memilih untuk mengikuti dan mempercayai Yesus, Tuhan kita? Sebab iman kita nilainya jauh lebih daripada emas yang terindah yang dapat kita bayangkan di dunia ini. Dan seperti bagaimana emas itu diuji kemurniannya dengan api, demikianlah iman kitapun diuji kemurniannya, seberapa murnikah hati kita mempercayakan segalanya kepada Tuhan.

Yesus akan datang kembali, dan pada saat itu, Ia akan menghakimi kita. Ia memisahkan yang baik dari yang buruk, seperti seorang nelayan memisahkan ikan hasil tangkapannya dari jalanya (Matius 13:47-50). Dan ingatlah teman-teman, bahwa yang Tuhan lihat bukanlah kecantikan dan keelokan, atau segala keindahan jasmani yang ada dan disukai manusia, namun Tuhan melihat kemurnian hati kita yang tak terlihat oleh mata jasmani. Dan saat itulah, ketika ia melihat bagaimana kita tetap setia pada-Nya walaupun badai menerjang kita berulang-ulang kali dalam hidup ini, kita akan memperoleh pujian dan kemuliaan dan kehormatan, karena kita akan memperoleh hidup kekal, sama seperti para malaikat di sorga.

Jika teman-teman menyadari, Tuhan mengingatkan kita untuk tidak takut sebanyak 365 kali di dalam Kitab Suci (Barangkali Tuhan ingin kita untuk ingat untuk tidak takut setiap hari dalam setiap tahunnya). Maka serahkanlah semua bebanmu kepada Tuhan, serahkan segala ketakutan dan kecemasan, rasa sepi, hampa, atau apapun yang sedang kau alami. Ketahuilah bahwa Tuhan selalu besertamu. Ia sangat mengasihi dan peduli padamu, bahkan Ia mencatat setiap helai rambut pada kepalamu (Matius 10:30). Sebab hanya Yesuslah yang kita perlu.

"Tuhan tak pernah janji langit selalu biru, tetapi Dia berjanji selalu menyertai. Tuhan tak pernah janji jalan selalu rata, tetapi Dia berjanji berikan kekuatan." - Edward dan Justin Faith Chen

Tuhan mengasihimu.