Tentang "Takdir": Mengapa Allah Mengijinkan Kita Menderita?

(Untuk teman-teman yang bingung terhadap penderitaan-penderitaan dan -- yang tampaknya seperti -- ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan ini, sehingga meragukan kebijaksanaan Tuhan)

Baik. Tulisan ini bermula dari inspirasi yang ku dapat dari berbagai kejadian akhir-akhir ini. Entah mengapa Tuhan mengarahkanku untuk menulis artikel ini, melalui semua pengalaman-pengalamanku tersebut: diskusi tentang topik "takdir" pada suatu komunitas doa yang ku ikuti, pertanyaan dari seorang teman baik tentang "apa itu takdir", pikiran-pikiran dan ayat-ayat Alkitab yang mencoba menjelaskan kepadaku apa maksud dari semua ketidakadilan yang terjadi dalam dunia ini; semua seakan membawaku untuk merenungkannya, dan menuliskannya dalam tulisanku ini.

Pertanyaan yang ingin ku jawab adalah, seperti judul artikel ini persis. Mengapa Allah mengijinkan sebagian orang menderita? Mengapa ada yang kaya dan miskin? Sehat dan cacat? Makmur dan merana? Terkenal dan dikucilkan? Apa maksud dari semua ini? Apakah Tuhan memihak kepada sebagian orang dan meninggalkan yang lainnya? Apakah orang-orang yang menderita itu dihukum karena kesalahan mereka? Apakah orang yang kaya raya itu hidup suci dan benar, sehingga dikaruniai segala kelimpahan di dunia ini? Apakah dengan melakukan semua ini, Tuhan itu adil? Bukankah seharusnya semua orang mendapatkan bagian yang sama, sehingga dengan itu semua bisa memperoleh dan merasakan keadilan?

Seperti kamu, aku juga menanyakan hal ini dari sejak dahulu kala. Aku sangat bersyukur bahwa seiring berjalannya waktu, bertambahnya usia, dan dengan segala niat dan usaha untuk mengenal-Nya, aku boleh diberi sedikit pengertian dari pemahaman yang sangat kompleks tentang persoalan "takdir" ini -- semua berkat rahmat dari Tuhan, dan Firman-Nya yang hidup, yang dapat kita akses saat ini melalui Alkitab dan dengan berdoa. Dan berkat pertolongan Tuhan yang memampukanku untuk berdoa dan merenungkan Firman-Nya setiap hari, aku boleh semakin mengerti bahwa segala yang Ia lakukan adalah untuk kebaikan kita, yakni untuk keselamatan jiwa kita, serta untuk melakukan hal yang merupakan tujuan kita diciptakan, yakni untuk melayani-Nya dan memuliakan nama-Nya. Hanya dengan itu kita boleh memperoleh kedamaian dan kebahagiaan sejati.

Segala penderitaan yang terjadi di dunia ini, memang tidak dapat sepenuhnya kita mengerti alasannya. Namun, terdapat beberapa petunjuk yang ditinggalkan oleh para pendahulu kita, yakni para orang-orang beriman, yang menuangkannya dalam Alkitab dan tulisan-tulisan.

Pertama, Tuhan bisa saja mengijinkan segala penderitaan untuk menghukum orang-orang berdosa, yang telah mengkhianati-Nya, atau berpaling dari-Nya. Ingatkah kamu bahwa Tuhan sangat mengasihi umat-Nya bangsa Israel, hingga membebaskan mereka dari perbudakan Mesir dengan mukjizat-mukjizat yang ajaib? (buka Keluaran 1:1 s.d. 15:22). Namun, kita memang manusia yang sangat mudah lupa akan kebaikan Allah, sehingga Allah pun tidak akan segan-segan menghukum kita layaknya orang tua yang mengasihi anaknya dan selalu mengharapkan yang terbaik bagi anaknya, agar mereka bertobat dari kesalahannya. Kita diciptakan hanya untuk Allah, dan begitu juga bagaimana bangsa Israel mempercayainya. Tiada Allah lain yang layak disembah selain Tuhan Allah kita, yang sekarang kita kenali nama-Nya, yaitu Yesus Kristus. Tetapi, dahulu bangsa Israel berkali-kali memberontak dan menyembah allah lain (misalnya pada Keluaran 32:1-35, dimana bangsa Israel membuat allah sendiri dalam rupa lembu emas; atau di Kitab Hakim-Hakim [2:11; 3:7,12; 4:1; 6:1; 10:6; 13:1] dimana berulang kali bangsa Israel menyembah berhala dan melupakan kebaikan Allah mereka yang sebenarnya; dan masih banyak kejadian lainnya di sepanjang Alkitab). Atas kedurhakaan bangsa Israel, Allah tidak segan "menghukum" mereka dengan membiarkan musuh-musuh mereka mengalahkan mereka dan mengijinkan mereka ditimpa dengan penderitaan (misalnya pada Kitab 1 Raja-Raja 16:21-34 & 22:13-40, dimana raja Ahab yang jahat dan merupakan penyembah berhala Baal diijinkan Allah untuk dikalahkan dan dibunuh oleh musuhnya bangsa Aram). Namun, semua terjadi untuk kebaikan mereka, agar bangsa Israel kembali menyembah Allah yang benar, dan boleh memperoleh kedamaian sejati.

Contoh lain adalah ketika Daud, hamba Allah yang setia, melakukan dosa perzinahan dengan Batsyeba, istri Uria (buka 2 Samuel 11:1 s.d. 12:29). Daud yang saat itu merupakan raja bangsa Israel, sengaja menempatkan Uria di barisan terdepan di medan perang, sehingga Uria meninggal, dan Batsyeba dapat menjadi istrinya. Namun hal ini adalah kekejian di mata Tuhan, sehingga Tuhan mengijinkan penderitaan terjadi pada Daud dan Batsyeba, yakni dengan membiarkan anak pertama mereka menderita sakit dan meninggal dalam waktu beberapa hari setelah dilahirkan. Ini adalah contoh lain bagaimana Tuhan mengijinkan penderitaan terjadi pada kita untuk mengingatkan kita bahwa ujung dari dosa adalah maut. Segala yang bertentangan dengan kehendak dan perintah Tuhan adalah dosa, dan berujung pada penderitaan dan kematian, baik fisik maupun jiwa.

Alasan yang pertama (terkait mengapa Allah mengijinkan kita menderita) ini sangat jelas juga diungkapkan berkali-kali dalam Firman Allah, perintah-perintah Allah, dan nubuat-nubuat para nabi dan rasul, seperti misalnya pada ayat-ayat sebagai berikut:

Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri. Karena sedikit waktu lagi, maka lenyaplah orang fasik; jika engkau memperhatikan tempatnya, maka ia sudah tidak ada lagi. Tetapi orang-orang yang rendah hati akan mewarisi negeri dan bergembira karena kesejahteraan yang berlimpah-limpah. Orang fasik merencanakan kejahatan terhadap orang benar dan menggertakkan giginya terhadap dia; Tuhan menertawakan orang fasik itu, sebab Ia melihat bahwa harinya sudah dekat. (Mazmur 37:9-13)

Juga tentang mereka Henokh, keturunan ketujuh dari Adam, telah bernubuat, katanya: "Sesungguhnya Tuhan datang dengan beribu-ribu orang kudus-Nya, hendak menghakimi semua orang dan menjatuhkan hukuman atas orang-orang fasik karena semua perbuatan fasik, yang mereka lakukan dan karena semua kata-kata nista, yang diucapkan orang-orang berdosa yang fasik itu terhadap Tuhan." (Yudas 14:14-15)

Namun ingatlah bahwa semua ini adalah untuk kebaikan dan keselamatan kita sendiri, agar kita tahu bahwa Allah-lah sumber kehidupan sejati. Dengan kata lain, Tuhan tidak menghendaki penderitaan terjadi pada kita semua, namun mengijinkannya agar kita bertobat:

Katakanlah kepada mereka: Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu! Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel? (Yehezkiel 33:11)

Kenyataannya tidak sesederhana itu. Ada juga orang yang hidup suci dan baik hati yang mengalami penderitaan. Pertanyaannya, mengapa? Orang yang baik sudah sepantasnya dibalas dengan kebaikan dan kemakmuran. Jawabannya adalah agar Allah dapat menunjukkan kemuliaan-Nya pada kita (melalui mukjizat dan kebaikan-Nya), agar kita percaya pada-Nya.

Yesus menunjukkannya (dan sekaligus mengajarkan pada kita tentang kebijaksanaan ini) pada saat ia menyembuhkan orang yang buta sejak lahir. Ketika itu, murid-murid-Nya bertanya pada-Nya tentang apakah orang buta tersebut dilahirkan demikian karena takdir, atau karena akibat hukum tabur tuai. Pada zaman itu, memang murid-murid Yesus mengerti bahwa orang-orang berdosa itu sudah sepantasnya dihukum Allah. Namun Yesus menjawab bahwa terkait kasus ini, ia dilahirkan buta bukan karena kesalahannya sendiri, melainkan agar Yesus boleh melakukan mukjizat padanya, dan melalui peristiwa tersebut orang-orang boleh menjadi saksi atas kebaikan dan kuasa Allah, dan nama Allah boleh dimuliakan:

Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?" Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia." (Yohanes 9:1-3)

Singkat cerita, Yesus kemudian menyembuhkan orang buta tersebut. Banyak orang melihat kejadian itu dan percaya pada Yesus.

Merenungkan hal ini, sebenarnya kita patut bersyukur. Karena justru dalam kelemahan-kelemahan kita, dalam penderitaan kita, justru Allah boleh bekerja dengan luar biasa. Sebaliknya, kalau kita terlalu nyaman dengan harta dan kenyamanan dunia ini, dan kita hidup baik-baik saja, kita cenderung merasa tidak membutuhkan Allah, mudah lupa akan Allah, dan dengan sangat mudah akan jatuh dalam dosa, yang berujung pada kematian jiwa kita. Surat Rasul Paulus pada jemaat di Korintus mengungkapkannya dengan sangat baik:

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah [kelemahan-kelemahan kita sebagai manusia] kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat. (2 Korintus 12:9-10; penekanan ditambahkan)

Baik. Jadi alasannya bisa karena dosa-dosa kita sendiri, atau karena Allah ingin menunjukkan kemuliaan-Nya melalui kelemahan kita. Namun kenyataannya, banyak hal yang Allah lakukan itu tidak ada penjelasan logisnya (dalam konteks pikiran manusia; dimana seringkali pikiran kita sebagai manusia tidak sanggup memahami kebijaksanaan Allah)! Ini dicontohkan dengan baik pada kisah Ayub (buka Kitab Ayub). Ayub merupakan hamba Tuhan yang setia, dan Tuhan telah memberinya kelimpahan. Namun, untuk membuktikan kesetiaan Ayub, Allah menghendaki agar seluruh kekayaan dan kebahagiaan Ayub: ternak, pembantunya, hingga anak-anaknya, diambil daripadanya, dan mengijinkan ia mengalami penyakit bisul dan borok. Namun, Ayub tetap setia pada Tuhan dan menolak untuk menghujat-Nya (buka Ayub 1:13 s.d. 2:10).

Jika kita melihat kisah Ayub, kita akan sangat terheran. Mengapa Tuhan dengan tega membiarkan orang yang setia pada-Nya mengalami semua ini? Tuhan mengijinkan kita untuk sedikit mengerti kebijaksanaannya (hanya sedikit) dengan menjawab pertanyaan ini pada bagian akhir Kitab Ayub. Allah mengingatkan Ayub bahwa Ia adalah Allah yang berdaulat, sangat berkuasa, merupakan Pencipta jagad raya yang Mahakuasa, yang jalan-jalan-Nya di luar pengertian manusia (buka Ayub 38:1 s.d. 41:34). Sehingga, kita tidak akan sepenuhnya mengerti kehendak-Nya (setidaknya saat ini), hingga pada waktunya nanti, saat kita kembali dalam kediaman Allah, yakni rumah kita yang sesungguhnya. Namun untuk saat ini, Allah tidak harus membenarkan dan membela -- memberikan penjelasan logis atas -- tindakan-Nya demi keingintahuan manusia.

"Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku", demikianlah firman TUHAN. (Yesaya 55:8)

Pada akhirnya, pada kisah Ayub, Allah kembali memulihkan kekayaan Ayub, bahkan memberikannya dua kali lipat lebih banyak (buka Ayub 42:10-17). Namun satu hal yang penting untuk diingat adalah semua agar kita diselamatkan dari dosa. Allah mengijinkan seluruh penderitaan agar semua manusia (baik kita sendiri maupun orang-orang disekitar kita) boleh bertobat dari segala dosa dan berbalik pada Allah (buka Ayub 36:1-33).

Dibalik kesetiaan Ayub kepada Allah, sebenarnya Ayub juga telah bersalah karena menganggap dirinya manusia yang suci dan benar dihadapan Allah (diungkapkan di sepanjang Kitab Ayub), dan mengatakan bahwa ia tidak seharusnya mengalami seluruh penderitaan yang ia alami. Sehingga, Ayub sebenarnya tidak sepenuhnya benar, layaknya kita yang mengeluh pada Allah apabila mengalami penderitaan dalam hidup ini. Namun, pada akhirnya, melalui penderitaan ini pula, Allah mengijinkan Ayub untuk percaya dan berserah pada kebijaksanaan Allah, suatu pelajaran yang sangat bermakna dan sangat kita butuhkan.

Layaknya orang tua yang mengasihi anaknya, Allah juga mengasihi kita dan ingin kita kembali pada-Nya, sehingga segala hal dapat Ia lakukan untuk membuat kita jatuh cinta kembali pada Allah. Itulah satu-satunya tujuan mengapa Tuhan Yesus rela menjadi manusia dan wafat di kayu salib:

"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini [akan kita umat manusia], sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yohanes 3:16; penekanan ditambahkan)

Terlebih, aku juga percaya bahwa Allah mengijinkan penderitaan pada Ayub juga karena ingin menguji kesetiaan Ayub pada Allah, melatih kesetiaan dan imannya pada Allah, dan agar dapat menjadi teladan bagi orang-orang beriman lainnya. Terlepas dari segala penderitaan kita, kita sudah sepatutnya tetap bersyukur pada Allah. Sebab, semua yang kita miliki adalah milik Allah, pemberian dari Allah. Maka apabila segalanya itu diambil dari kitapun, sudah sepatutnya kita tetap bersyukur pada Allah dalam situasi apapun.

Sebab siapakah aku ini dan siapakah bangsaku, sehingga kami mampu memberikan persembahan sukarela seperti ini? Sebab dari pada-Mulah segala-galanya [segala sesuatu yang kita miliki adalah dari Allah] dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu [kita hanya memberikan/mempersembahkan kepada Allah apa yang Allah sebelumnya telah berikan pada kita; sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk bermegah atas segala karya kita, kecuali untuk memegahkan Allah]. (1 Tawarikh 29:14)

Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu -- yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api -- sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. (1 Petrus 1:7)
Kita sudah membahasnya dengan sangat panjang, dan saatnya menyimpulkan. Pertama, Allah dapat mengijinkan penderitaan pada kita karena dosa-dosa kita, agar kita boleh mengetahui bahwa akibat dari dosa adalah penderitaan dan maut. Sehingga, kita boleh kembali kepada Allah yang benar. Kedua, Allah dapat mengijinkan penderitaan agar Ia dapat menunjukkan kemuliaan-Nya pada kita, supaya semakin banyak orang yang melihat dan percaya akan kasih, kebaikan, dan kuasa Allah yang benar. Ketiga, Allah ingin menguji kesetiaan kita pada-Nya, melatih iman kita, dan menjadikan kita teladan bagi orang-orang percaya lainnya. Terakhir, terkadang memang tidak ada alasannya! Itulah yang kita dapat simpulkan sebagai manusia yang lemah dihadapan Allah. Karena kita tidak dapat sepenuhnya mengerti alasan Allah saat ini. Pikiran Allah jauh melebihi pikiran manusia. Yang kita tahu pasti adalah bahwa tujuan sengsara ialah pertobatan. Semua Tuhan lakukan agar kita diselamatkan dari dosa, dan kembali kepada Allah sumber kasih dan kebahagiaan sejati -- semua yang kita ingini hanya ditemukan di dalam Yesus Kristus, Tuhan kita.

Jikalau mereka [kita sebagai orang-orang berdosa] dibelenggu dengan rantai, tertangkap dalam tali kesengsaraan, maka Ia [Tuhan] memperingatkan mereka kepada perbuatan mereka, dan kepada pelanggaran mereka, karena mereka berlaku congkak, dan Ia membukakan telinga mereka bagi ajaran, dan menyuruh mereka berbalik dari kejahatan. Jikalau mereka mendengar dan takluk, maka mereka hidup mujur sampai akhir hari-hari mereka dan senang sampai akhir tahun-tahun mereka. (Ayub 36:8-11; penekanan ditambahkan)

Maka sekarang, jika kamu mengalami penderitaan, atau melihat orang-orang di sekitar kamu menderita, berbahagialah! (bukan berbahagia karena menyaksikan penderitaan orang tersebut, melainkan karena memahami bahwa melaluinya Allah dapat bekerja!) Ketahuilah bahwa itu adalah suatu rahmat dari Allah. Yakni, agar kita semakin percaya pada-Nya. Agar kita semakin berserah dan mengandalkan-Nya. Agar kita berpaling dari dosa dan bertobat. Agar kita menjadi teladan bagi sesama kita orang beriman. Agar Tuhan boleh bekerja melalui kelemahan kita. Agar kita selalu ingat akan kasih dan kuasa Allah. Agar kita boleh menolong satu sama lain yang sedang menderita. Dan segala alasan indah lainnya yang dapat kita pikirkan maupun yang tidak. Semua agar jiwa kita diselamatkan, dan kita boleh kembali mencintai Allah, sumber kasih sejati!

Tuhan mengasihimu, selalu!